Oleh: bloggerlumajang | Februari 11, 2009

Cerpen : Tanah Garapan – Tanah Harapan


 

Akhirnya jadi juga mas lukman pergi meninggalkan kampung ini. tak jelas dimana dia kini berada namun perasaan kehilangan sangat kuat kurasakan, lecutan semangat yang kerap disuarakannya serasa mampu memulihkan lagi tekad dan harapanku untuk mengelola sendiri lahanku menjadi lebih baik, menghasilkan serta menjanjikan.

Mas lukman sudah seperti seorang sahabat bagi kami meski pertemanan kami sebatas hari – hari yang sama kami lalui di sebuah “gubuk derita” di tengah hamparan ladang yang semula hanya ditumbuhi ilalang. Kini ladangku mulai menghijau meski sejauh mata memandang masih nampak beberapa bagian yang ditumbuhi ilalang dan rerumputan liar.

Kebiasaan menyinggahi “gubuk derita” pada mulanya menjadi aktifitas alternatif kami, disanalah kami biasa berkumpul, disatukan oleh kesamaan nasib, menggali sebuah mimpi yang memanggil untuk berubah, mulai dari mimpi-mimpi yang sederhana sampai mimpi yang setengah “gila”, salah satunya tercermin dari celotehan iwan fals yang sering sekali ditirukan nasir.

Penguasa …penguasa berilah hambamu uang…beri hamba uang” .

” Mencari pekerjaan sekarang juga butuh modal, butuh uang…lagi – lagi uang ?!?!” celetuk adi spontan. Adi yang dulu bintang pelajar sekarang telah bergelar S.Pd, sebuah titel yang seringkali diplesetkan sebagai ‘sarjana penuh derita’.

“Klop sudah, sarjana penuh derita tinggal di dalam istana gubuk derita”, itulah komentar yang seringkali dilontarkan sugeng, ekonom muda lulusan perguruan tinggi terkemuka yang berharap bisa berbuat banyak untuk tanah kelahirannya namun belum tahu harus memulai dari mana.



Pada suatu malam Adi datang dengan menenteng sebuah gitar. Kami bertiga mulai menduga-duga “gerangan apalagi yang bakal dipertontonkan adi di depan kami”

gitar tua yang bertuah” katanya seraya membuka catatan berisi notasi lagu-lagu baru,.

“Sama sekali tidak kelihatan seperti satria bergitar”, celetuk sugeng

” Pantasnya sih disebut penyanyi “ndesit” bersuara gemetar”, sahut nasir

Adi kemudian menyanyikan beberapa tembang Ebiet G Ade, kegalauan hatinya menampak jelas dari bait-bait syair yang disuarakannya.

Saat sampai “tanyakan saja pada rumput yang bergoyang” tiba – tiba senar gitar adi putus, seketika ia beringsut turun dan meletakkan gitar tuanya itu tepat ditengah sebuah pematang tidak jauh dari gubuk, “Gitar tua tak berguna, biar saja diambil orang”. Katanya dengan nada kesal

Tak lama kemudian tanpa kami sadari sebuah lampu senter berkilat – kilat mendekati tempat kami namun kami acuhkan begitu saja sampai keesokan harinya kami mendapati gitar tua itu benar – benar telah lenyap. Beberapa hari kemudian seorang yang mengaku bernama lukman mengantarkan gitar tua itu.

saya biasanya tidak pernah lewat jalan ini tapi entah mengapa tiba-tiba terbersit keinginan untuk lewat jalan ini, padahal kan lebih jauh dan gelap”.

“Rupanya Tuhan sengaja menggerakkan saya untuk mengambil gitar itu … Tuhan pula yang menggerakkan saya untuk menyambung senarnya dan mengantarnya kembali ke gubuk ini. Jadi pertemuan ini bukan semata suatu kebetulan melainkan telah digariskan oleh yang Maha Kuasa.



Harus bergembira ataukah sebaliknya ? Entahlah… yang jelas anggota kami yang semula empat orang kini bertambah seorang lagi menjadi lima sekawan.

Tanpa kami sadari suasana gubuk kesayangan kami tak seperti dulu lagi, ungkapan – ungkapan mas lukman selalu saja mengejutkan, apa yang diucapkannya terkadang sungguh menarik namun adakalanya terkesan disengaja untuk menyudutkan kami.

Menurut mas lukman “mana mungkin seorang yang hanya duduk diam disebuah gubuk bisa merubah dunia, merubah kehidupannya sendiri saja belum tentu bisa,”

mana mungkin orang yang tidak kreatif dan tidak produktif akan mudah mendapatkan apa yang diinginkannya, bisa saja itu terjadi namun bukan saat ini dikehidupan nyata melainkan dalam dongeng – dongeng klasik”.

Adakalanya mas lukman berusaha keras membangkitkan semangat kami namun terkadang pernyataan-pernyataannya justru menjadikan kami merasa serba salah dan tidak berguna , namun mas lukman memang pandai dalam bertutur kata sehingga tahu kapan harus melunak disaat telinga kami mulai memerah.

Demikianlah, setiap berangkat dan pulang dari mencari cacing, belut, bekicot dan entah apalagi mas lukman kini selalu menyinggahi gubuk kami, bahkan kini teman-teman mulai terbiasa mendengarkan sesuatu yang berbeda darinya.

Suatu saat mas lukman bercerita tentang kesengsaraan yang begitu rupa dialami bangsa barat akibat kekuasaan raja-raja yang sewenang-wenang.

saat agama hanya jadi alat kekuasaan maka kehidupan menjadi benar-benar gelap”

Hal ini terjadi di eropa pada abad pertengahan yang terkenal sebagai “The Dark middle age”, Abad pertengahan yang sungguh teramat gelap.

ada sebagian orang yang melihat kegelapan dari sisi yang lain, mereka merasa masih ada sisi dunia lain yang lebih terang dan lebih menjanjikan”.

“Merekapun berlomba-lomba mencari tanah baru demi untuk menggubah sejarah”

“Mereka berjuang dengan gigih melalui beberapa kali pelayaran samudera melintasi mancanegara”, Dan … kini kita harus berkiblat ke barat untuk mengukur sebuah kemajuan, barat yang sama yang pada mulanya berada dalam kegelapan panjang yang nyata.

cobalah kita senantiasa belajar dari lembaran paling suram dalam sejarah”

bayangkanlah andaikata kita hidup didalamnya”

Dan pikirkan bagaimana kita hendak mengubah keadaan kita sekarang ini.

maka mulai dari sekarang, sisakan semangat untuk terus berjuang …”

“Jangan kita menjadi orang yang gagal sebelum sempat berbuat sesuatu”

Gubuk derita kami ibarat penjara setelah mas lukman banyak menggambarkan tentang dahsyatnya tantangan kehidupan dimasa mendatang, sementara kami yang terkurung didalamnya tak ubahnya seperti katak dalam tempurung.

Perlahan – lahan anggota kami berkurang satu persatu, sugeng memulai usaha kecilnya sebagai produsen kripik singkong, nasir buka usaha cuci sepeda motor , adi yang sarjana penuh derita kabarnya telah diterima sebagai tenaga honorer di sekolah swasta, sementara aku sendiri tetap menghabiskan kebanyakan waktuku digubug sambil memperhatikan perkembangan tanaman rosella merahku yang kutanam untuk pertama kalinya.

Awalnya mas lukmanlah yang mengenalkan tanaman rosella merah, dia menyebut rosella merah sebagai tanaman obat yang mudah ditanam serta mudah diolah menjadi sirup dan minuman segar.

Ketika aku membutuhkan benih rosella merah mas lukman memberiku sebuah alamat, dari sang pemilik benih rosella merah itulah aku akhirnya mengetahui apa yang sebelumnya tak kuketahui jika mas lukman itu sebenarnya adalah seorang sarjana pertanian…

Sore itu ketika aku bertemu mas lukman dia mengutarakan keinginannya untuk pergi jauh untuk sebuah cita – cita.

“Lalu bagaimana dengan yang selama ini mas usahakan”, tanyaku mencari tahu. “Menggarap ladang ternyata tidak semudah teori yang saya pelajari selama ini, kini saya telah mendapatkan pengalaman teori dan praktek yang saya yakini kelak akan menjadi bekal yang sangat berguna”.

“Kata – kata mas lukman menyiratkan betapa besar keinginannya untuk mewujudkan obsesi – obsesinya.

“Apa yang selama ini sangat ingin mas lakukan ?…lanjutku penasaran.

saya hanya seorang sarjana miskin yang tak punya lahan sendiri, selama ini saya menggarap lahan paman, itu sebagai tanda bakti saya atas jasa beliau yang telah dengan ikhlas membiayai kuliah sepeninggal kedua orang tua saya”.

“Beruntunglah kita yang hidup di lereng gunung semeru, tanahnya subur berlapis humus tebal yang senantiasa terjaga oleh erupsi berkala, mata airnya jernih dan berlimpah, bentang alamnya sangat kaya, sesuai untuk dibudidayakan tanaman apasaja”, lalu pernahkah kita membayangkan akan hidup disebuah daerah asing nan tandus, nun jauh diseberang sana ?

“Bagi saya yang sarjana pertanian, tugas dan tantangan berat masih menanti, di lembah pengharapan, disebuah daerah kering kerontang yang jarang tersentuh oleh manusia, saya harus berjuang menjadikannya bisa diusahakan untuk tanaman pertanian yang lebih produktif.

“Transmigrasi, maksudnya”, tanyaku memastikan

Mas lukman hanya mengangguk seolah membenarkan dugaanku.

“Kapan berangkat ?!?!”…tanyaku lagi. Entahlah sayapun masih belum tahu, kapan tanggalnya masih belum pasti, sewaktu – waktu saya bisa saja meninggalkan tempat ini. “Kalimat terakhirnya begitu menyentuh dihati, terbayang sebuah perpisahan dengan orang yang selama ini berusaha keras mengobar-ngobarkan semangat kami yang nyaris padam.

Kuingat saat kebersamaan kami yang terakhir mas lukman sempat menyelipkan secarik kertas yang syukurlah masih terselip di dinding gubuk, kubuka dan perlahan kubaca.

“Binar – binar wajah berhiaskan senyum yang indah ternyata bukan semata milik mereka orang – orang kaya yang hidupnya bergelimang harta dan kesehariannya serba ada, meski miskin rupiah kita tetap berhak menikmati indahnya dunia yang juga milik kita. Jangan pernah merasa miskin hingga harus setengah hati ketika mensyukuri kuasa ilahi, sesungguhnya pada setiap diri kita tersimpan kekayaan yang tak nampak , sebuah bakat, potensi dan kelebihan tak terkatakan yang bisa jadi saat ini tidak dimiliki oleh orang lain”.

Mas Lukman telah meninggalkan butiran-butiran semangat yang bermekaran dalam jiwa kami, semangat untuk terus berjuang “memetik” mimpi dan menjadikannya nyata, indah dan membumi….Wallahu A’lam (By Gaffas)

“Mimpi adalah kunci”

“Untuk kita menaklukkan dunia”

“Berlarilah tanpa lelah”

“Sampai engkau meraihnya”

(Kutipan bait pertama Syair Lagu Laskar Pelangi – Nidji)


Tinggalkan komentar

Kategori